KABAR ANDAU TUH, JAKARTA – Awal tahun ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sebuah putusan penting bagi demokrasi yang berkualitas dengan mengabulkan gugatan Nomor 62/PUU-XXI/2024 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pemilihan Presiden (Pilpres).
Gugatan ini memuat petitum tentang Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang dianggap melanggar batas open legal policy dan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon dalam gugatan ini juga meminta agar presidential threshold pada Pasal 222 dinyatakan bertentangan dengan moralitas demokrasi.
Dalam putusan yang disampaikan pada, Kamis (2/1/2025) di Jakarta. MK mengambil sikap yang akan mengubah konstelasi politik pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2029 mendatang. Konsekuensinya norma hukum yang selama ini membuat “Pasangan Calon (Paslon) diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) atau gabungan Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara Nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya,” tak lagi berlaku tulis Agustin Teras Narang melalui Media Sosial (Medsos) nya kemarin, Kamis (2/1/2025).
Artinya Partai Politik (Parpol) ke depan akan lebih leluasa mengusung Calon atau Pasangan Calon (Paslon) Presiden serta Wakil Presiden (Wapres) untuk berkontestasi di Pemilihan Presiden (Pilpres). Dengan demikian rakyat diharapkan akan lebih punya peluang untuk memiliki calon-calon pemimpin beragam di masa depan.
Kendati demikian, kelompok pro demokrasi juga mesti mengawal putusan ini dengan turut mengawal kecenderungan Partai Politik (Parpol) yang abai pada aspirasi demokrasi. Sebab pada praktiknya, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang lalu, MK sejatinya juga memberi ruang lebih pada munculnya Calon Kepala Daerah (Cakada) dengan membuka batasan persentase dukungan partai politik lewat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Putusan ini membuka ruang tampilnya banyak calon alternatif Kepala Daerah, yang tak lagi harus bersusah payah berkoalisi dan meningkatkan kerawanan permainan politik uang demi tiket kontestasi. Pun begitu, di beberapa daerah, tetap saja ada Pilkada yang mesti berhadapan dengan kotak kosong.
Putusan MK yang menghapus ketentuan Presidential Threshold ini, mari kita sambut dengan baik, mengingat putusan MK adalah final dan mengikat. Sembari kita semua bangsa Indonesia terus membangun gerakan demokrasi lainnya yang lebih menyehatkan kehidupan publik.
Sebab demokrasi tidak hanya soal rakyat memilih langsung atau tidak langsung, punya calon sedikit atau banyak. Demokrasi juga soal proses dan hasil yang berkualitas dalam melahirkan pemimpin yang berintegritas dan berkarakter kebangsaan yang kuat. Selain itu yang kita inginkan bukan semata demokrasi prosedural, tetapi yang kita inginkan adalah demokrasi Pancasila yang nyata, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, yang substansial dan berkeadilan. (A. Teras Narang/Red)